Kamis, 30 April 2009

Anjuran melakukan perintah Rasul sesuai kemampuan


Anjuran melakukan perintah Rasul sesuai kemampuan, menjauhi larangannya dan larangan banyak bertanya
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, menceritakan bahwasanya di mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda : " Apa yang aku larang kalian dari (mengerjakan)-nya maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan kalian untuk (melakukan)-nya maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang yang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka (yang mereka ajukan) dan perselisihan mereka dengan para Nabi-Nabi (yang diutus kepada) mereka ". (H.R.Bukhari dan Muslim).
Takhrij Hadits secara global
Hadits dengan lafazh diatas dikeluarkan oleh Imam Muslim saja dari riwayat az-Zuhri dari Sa'id bin al-Musayyab dan Abu salamah; keduanya dari Abu Hurairah, begitu juga dikeluarkan oleh Imam Bukhari, Imam Ahmad dan an-Nasai serta ditashhih oleh Imam Ibnu Hibban.
Makna Hadits secara Global
Dalam hadits tersebut kita diperintahkan untuk hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam dan menjauhi apa saja yang dilarang oleh beliau. Larangan tersebut dimaksudkan agar kita tidak terjebak dengan apa yang telah menimpa umat-umat terdahulu yang hancur dan binasa gara-gara terlalu banyak bertanya kepada Nabi-Nabi mereka tentang sesuatu yang tidak ada faedahnya begitu juga seringnya mereka berselisih dan membantah Nabi-Nabi mereka tersebut.

Penjelasan Tambahan
Banyak hadits-hadits lain yang senada dengan hadits tersebut yang menunjukkan larangan bertanya tentang hal-hal yang tidak perlu dan justru memojokkan posisi si penanya sendiri seperti pertanyaan seseorang yang menanyakan kepada Nabi bagaimana nasibnya nanti, apakah di neraka atau di surga ? atau yang bertanya tentang nasabnya, dan lain-lainya. Begitu juga larangan bertanya perihal yang sia-sia, atau dengan maksud mengejek atau dimaksudkan untuk menyombongkan diri/berkeras kepala sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Munafik dan selain mereka.
Pertanyaan serupa yang juga dilarang adalah mempertanyakan ayat-ayat dengan tujuan untuk sekedar menunjukkan kekerasan hati dan penolakan terhadapnya seperti yang dilakukan oleh kaum Musyrikun dan Ahlul Kitab. Begitu juga larangan melontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar hal-hal yang hanya diketahui oleh Allah semata dan tidak dapat diketahui oleh manusia, seperti bertanya tentang kapan saat kiamat terjadi dan tentang ruh.
Hadits-Hadits tersebut juga berbicara tentang larangan bagi kaum Muslimin untuk bertanya banyak seputar hal yang berkaitan dengan halal dan haram dan larangan bertanya seputar hal yang belum terjadi seperti ada seseorang yang bertanya tentang apa yang terjadi terhadap keluarganya padahal masalah yang ditanyakannya itu masih bersifat dugaan/perandaian.
Jadi, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah diatas (hadits yang kita bicarakan) maksudnya adalah : barangsiapa yang tidak menyibukkan dirinya dengan memperbanyak bertanya tentang hal-hal yang tidak terdapat semisalnya dalam AlQuran ataupun as-Sunnah tetapi justeru kesibukannya hanya dalam memahami firman Allah dan Sabda RasulNya yang tujuannya semata-mata hanya agar dapat menjalankan segala yang diperintahkan kepadanya dan menjauhi segala yang dilarang baginya, maka orang semacam inilah yang dimaksud oleh hadits diatas dengan orang yang mendatangkan/melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah. Sedangkan orang yang tidak memberikan perhatiannya untuk memahami apa yang diturunkan oleh Allah kepada RasulNya dan justeru banyak menyibukkan dirinya dengan menciptakan pertanyaan-pertanyaan yang masih bersifat kemungkinan; bisa terjadi dan bisa tidak, dan mencari-cari jawabannya berdasarkan pertimbangan logika semata, maka orang semacam ini dikhawatirkan termasuk orang yang telah melanggar hadits tersebut diatas yaitu melakukan larangan dan meniggalkan peritah yang ada.
Sesungguhnya banyaknya terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak bersumber sama sekali dari AlQuran maupun dari as-Sunnah lantaran meninggalkan kesibukan yang semestinya diarahkan kepada perbuatan melakukan perintah Allah dan RasulNya dan menjauhi larang-larangan keduanya. Jika saja orang yang ingin melakukan suatu pekerjaan bertanya tentang apa yang disyari'atkan oleh Allah berkaitan dengan pekerjaan tersebut (yang ditanyakannya) lantas dia menjalankan pekerjaan itu, begitu juga dia bertanya tentang pekerjaan apa yang dilarang oleh Allah lantas dia meninggalkan pekerjaan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut terjadi masih dalam kaitannya dengan AlQuran dan as-Sunnah. Sebab yang terjadi justeru sebaliknya, seseorang melakukan suatu pekerjaan berdasarkan logika dan hawa nafsunya semata, sehingga secara umum peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam kondisi yang bertentangan dengan apa yang disyari'atkan oleh Allah, dan dalam hal ini barangkali sangat sulit untuk merujuknya kembali kepada hukum-hukum yang telah disebutkan dalam AlQuran dan as-Sunnah karena sudah terlalu jauh dari keduanya.
Secara global, barangsiapa yang melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam dalam hadits tersebut (yang kita bahas) dan menjauhi apa yang dilarang oleh beliau dan dia memfokuskan dirinya hanya pada apa yang diperintahkan kepadanya saja, terlepas dari yang lainnya maka dia akan mendapakan keselamatan di dunia dan akhirat sedangkan orang yang berbuat sebaliknya dengan menyibukkan dirinya berdasarkan pertimbangan logika dan perasaan semata, maka dia telah terjerumus kedalam apa yang dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam sama seperti halnya Ahlul Kitab yang binasa lantaran terlalu banyak bertanya dan berselisih dengan para Nabi mereka dan ketidaktundukan serta ketidakta'atan mereka kepada para Rasul yang diutus kepada mereka.
Permasalahan hadits diatas
Setidaknya terdapat tiga masalah yang dibicarakan para ulama seputar hadits diatas, yaitu: pertama, masalah bertanya tentang hal-hal yang tidak bermanfaat dan hal-hal yang masih diperkirakan akan terjadi. Kedua, masalah keutamaan meninggalkan al-Muharramât (hal-hal yang diharamkan) atas perbuatan ta'at yang sifatnya sunnah. Ketiga, masalah orang yang tidak mampu melakukan perintah secara keseluruhan tetapi hanya mampu melakukan sebagiannya saja.
i) Masalah bertanya tentang hal yang tidak bermanfaat dan hal-hal yang masih diperkirakan akan terjadi
Yang dimaksud dengan bertanya tentang hal yang tidak bermanfaat tersebut adalah adanya pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dilontarkan karena bisa saja hal tersebut berakibat jelek terhadap si penanya sendiri, begitu juga dengan masalah bertanya tentang hal-hal yang sebenarnya belum terjadi namun diperkirakan akan terjadi.
Sebab-Sebab dibencinya banyak bertanya perihal yang tidak bermanfaat
Diantara sebab dari adanya larangan banyak bertanya seputar hal-hal yang telah disebutkan diatas adalah ; Pertama, karena ditakutkan dengan pertanyaan semacam itu justru akan menurunkan beban syar'i (taklif) yang lebih berat lagi (karena Rasul masih hidup dan berbicara berdasarkan wahyu semata, maka datangnya jawaban tentang masalah yang dipertanyakan berarti perintah/taklif yang wajib dita'ati), seperti pertanyaan tentang apakah haji dilakukan setahun sekali atau tidak ?. Dalam sebuah hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ahmad dan ditashhih oleh Ibnu Hibban, Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda : "Sesungguhnya orang-orang Islam yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan maka lantaran pertanyaannya hal itu (kemudian) diharamkan ".
Berkaitan dengan hadits ini, ada yang berpendapat bahwa hal itu khusus pada zaman Rasul saja, sedangkan setelah beliau wafat, hal itu bisa terhindarkan. Namun bukan lantaran itu saja sebenarnya sebab dibencinya bertanya tentang hal itu, tetapi ada sebab lainnya yaitu, sebagaimana yang diisyaratkan dalam ucapan Ibnu 'Abbas, bahwa seluruh permasalahan agama yang diperlukan oleh kaum Muslimin pasti telah dijelaskan oleh Allah dalam KitabNya dan telah disampaikan oleh RasulNya sehingga tidak perlu lagi seseorang mengajukan pertanyaan sebab Allah Maha Mengetahui kemaslahatan hamba-hambaNya; sesuatu yang didalamnya diperuntukkan bagi kemaslahatan dan mendapatkan hidayah buat mereka yang tentunya Allah pasti menjelaskannya sebelum adanya pertanyaan , sebagaimana Allah berfirman : "…..Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat..". (Q.,s. an-Nisa'/4: 176). Maka oleh karenanya tidak diperlukan lagi pertanyaan tentang apapun apalagi sebelum terjadinya dan sebelum kebutuhan akan hal itu, akan tetapi keperluan yang sesungguhnya adalah bagaimana memahami apa yang telah diinformasikan oleh Allah dan RasulNya, kemudian mengikuti dan mengamalkannya. Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam sering ditanyai beberapa masalah maka beliau langsung merujuknya kepada AlQuran; seperti tatkala beliau ditanya oleh Umar tentang pengertian "al-Kalâlah", maka beliau menjawab dengan sabdanya :"cukup bagimu (dalam masalah ini/al-Kalâlah) ayat ash-Shaif". (H.R. Muslim dan Ibnu Majah).
Kedua, ditakutkan bahwa dengan pertanyaan itu justeru akan menimpa si penanya itu sendiri, dan karenanya Nabi sangat membenci pertanyaan semacam itu dan mencelanya, seperti pertanyaan yang berkaitan dengan hukum Li'an ; yaitu pertanyaan seseorang kepada Nabi perihal sesuatu yang masih merupakan dugaan/perandaian yang mungkin akan terjadi terhadap keluarganya dan ternyata lantaran pertanyaan itu hal tersebut benar-benar terjadi. (Lihat Musnad Ahmad, Shahih Muslim, Sunan at-Turmuzi dan Shahih Ibnu Hibban).
Jadi, bila himmah/keinginan si pendengar begitu mendengar perintah dan larangan hanya diarahkan kepada penciptaan masalah-masalah yang berpretensi kemungkinan terjadi dan kemungkinan tidak terjadi saja maka hal inilah yang termasuk dalam larangan tersebut yang dibenci untuk bertanya-tanya tentangnya sebab hal itu malah akan mematahkan semangat untuk mengikuti perintah tersebut. Dan hal ini pula yang menyebabkan Ibnu 'Umar memarahi seseorang yang bertanya kepadanya tentang hukum menyalami hajar aswad, maka lantas hal itu dijawab oleh Ibnu 'Umar : "aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam menyalaminya dan menciumnya". Orang tersebut berkata kepadanya : bagaimana jika aku tidak sanggup melakukannya karena sesuatu hal ? bagaimana jika sedang dalam keadaan berdesak-desakan? ..Lalu Ibnu 'Umar menjawab :"jadikan ungkapanmu 'bagaiman jika' itu di negeri Yaman saja !(barangkali si penanya ini berasal dari negeri Yaman yang memang penduduknya suka membuat pernyataan semacam itu atau hal semacam itu merupakan kebiasaan yang ada di negeri Yaman-penj), aku telah melihat Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam menyalaminya dan menciumnya ". (dikeluarkan oleh at-Turmuzi). Maksud Ibnu Umar dalam riwayat tersebut adalah bahwa jadikanlah keinginanmu semata-mata untuk mengikuti sunnah Rasulullah sehingga tidak perlu mengemukakan bayangan-bayangan kemungkinan tidak dapat melaksanakan hal itu atau lantaran sulitnya melakukan hal itu sebelum terjadi, karena hal itu justeru bisa mematahkan semangat untuk mengikuti sunnah Nabi. Bukankah tafaqquh (mendalami syari'at) hanya terdapat dalam agama dan bertanya tentang ilmu hanya dipuji bilamana hal itu untuk dilakukan/dipraktekkan bukan hanya untuk berdebat dan mencari muka?.
Sikap Salaf dalam masalah ini
Yang perlu diketahui, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam tidak pernah memberikan keringanan/rukhshah bertanya tentang banyak masalah (yang tidak perlu) kecuali kepada delegasi-delegasi orang 'Arab pedalaman (al-A'râb) dan orang-orang (yang kondisi keimanannya) seperti mereka yang datang kepada beliau. Hal itu (memberikan rukhshah kepada mereka) dilakukan oleh beliau dengan tujuan mendekatkan hati mereka dan melunakkannya. Sedangkan orang-orang Muhajirin dan Anshor yang tinggal disekitar kota Madinah dan telah mantap keimanannya, maka hal itu (bertanya tentang banyak masalah yang tidak perlu tersebut) dilarang bagi mereka. Diantara saksi yang membenarkan statement ini adalah hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dari an-Nawwas bin Sam'ân, dia berkata: aku telah tinggal bersama Rasulullah selama setahun di Madinah dimana tidak ada satupun hal yang mencegah/melarangku berhijrah kecuali hanya satu permasalahan/pertanyaan saja, sedangkan salah seorang dari kami bila berhijrah mereka tidak pernah bertanya-tanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam .
Dan Dari al-Bara' bin 'Âzib, dia berkata :"Jika penghujung tahun telah datang kepadaku dan aku sebenarnya berkeinginan untuk bertanya tentang sesuatu kepada Rasulullah, lantas aku merasa takut untuk menyampaikannya maka kami hanya bercita-cita agar yang datang bertanya itu adalah orang-orang 'Arab pedalaman (al-A'râb)". (Musnad al-Kabir, karangan Abi Ya'la).
Ibnu 'Abbas berkata :"Saya tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih baik dari para Shahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi Wasallam ; mereka tidak bertanya kepada beliau kecuali tentang dua belas masalah saja, yang semuanya termuat dalam AlQuran : yaitu firman Allah : "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi…". (Q.,s,al-Baqarah/2 : 219). Dan firmanNya:"Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram..". (Q.,s, al-Baqarah/2: 217). Dan firmanNya :Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim.." (Q.,s. al-Baqarah/2: 220)……hingga akhir hadits.
Berkaitan dengan pertanyaan seputar peristiwa-peristiwa yang belum terjadi, para shahabat bukannya tidak pernah menanyakan tentang hal itu tetapi mereka menanyakan hal itu, semata-mata untuk mereka amalkan begitu hal itu benar-benar terjadi, seperti pertanyaan Huzaifah kepada Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam tentang fitnah yang akan terjadi, dan bagaimana mereka menyikapinya nanti. Begitu juga mereka pernah menanyakan kepada beliau tentang para Umara' (pemimpin) yang beliau beritakan akan datang setelah beliau, bagaimana sikap mereka; mena'ati atau memerangi mereka. (H.R.Bukhari).
Ibnu 'Umar berkata : "Janganlah kalian bertanya tentang hal-hal yang belum terjadi, karena sungguh! saya telah mendengar 'Umar melaknat orang yang bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi". (diriwayatkan oleh Ibnu 'Abdil Barr). Begitu juga, Zaid bin Tsabit bila ditanyai tentang sesuatu, dia balik bertanya : apakah hal ini dulu memang begini ?, jika mereka menjawab : tidak, maka dia lalu berkata :"biarkan saja dulu hingga terjadi".
Al-Hasan al-Bashri berkata :"Hamba-Hamba Allah yang paling jahat adalah orang-orang yang mengikuti/selalu menguntit masalah-masalah yang pelik yang dengannya membuat bencana bagi hamba-hamba Allah yang lain".
Imam al-Auzâ'i berkata : "Sesungguhnya bila Allah menghendaki diharamkannya keberkahan ilmu seorang hamba, maka Dia akan melemparkan kesalahan-kesalahan/ucapan-ucapan ngawur ke lisannya. Sungguh aku telah melihat mereka sebagai orang-orang yang paling sedikit ilmunya".
Alhasil, banyak sekali ungkapan dan perbuatan Salaf tentang ketidaksukaan mereka bertanya tentang hal-hal yang tidak perlu dan yang masih berpretensi kemungkinan terjadi.
Sikap-Sikap para Ulama dalam mempertanyakan sesuatu yang belum terjadi
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi beberapa kelompok :
1. Ahlul Hadits : mereka menutup rapat-rapat pintu bertanya tentang masalah tersebut (bab al-masâil) sehingga hal ini menyebabkan mereka kurang faqih dan kurang keilmuannya berkaitan dengan hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah kepada RasulNya dan mereka akhirnya menjadi pembawa fiqih yang tidak faqih.
2. Ahlur Ra'yi : mereka sebaliknya sangat memperluas bab ini, sehingga melahirkan banyak bab tentang ini (bab tentang permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan hal-hal yang belum terjadi); diantaranya ada yang terjadi menurut kebiasaan dan diantaranya ada yang tidak terjadi, dan mereka sangat disibukkan dengan hal ini dengan memberikan jawaban secara berlebihan (melebihi kemampuan mereka), memperbanyak perdebatan yang akibatnya melahirkan pula perselisihan hati dan memantapkan kemauan hawa nafsu, rasa permusuhan dan kebencian. Dan yang lebih menonjol lagi, adalah niat untuk selalu menang (dalam berdebat) dan mendapatkan pujian orang serta bersombong-sombong. Hal ini tentu saja amat dicela oleh ulama-ulama Rabbani, begitu juga banyak hadits menunjukkan keharaman perbuatan semacam ini.
3. Fuqaha' Ahlul Hadits yang 'Âmilin (yang mengamalkan hadits) : Keinginan mereka yang paling besar adalah mencari makna-makna AlQuran dan tafsiran-tafsirannya baik melalui sunnah-sunnah yang shahih, perkataan para shahabat atau orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Begitu juga mereka mencari/membahas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam ; dengan tujuan mengetahui mana yang shahih darinya dan mana yang tidak, mendalaminya (tafaqquh) dan memahaminya, mengetahui makna-maknanya, serta mengetahui perkataan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dalam berbagai disiplin ilmu ; Tafsir, Hadits, masalah-masalah halal dan haram, pokok-pokok sunnah, zuhud, raqâiq dan lain-lain.

Inilah metode yang dilakukan oleh Imam Ahmad dan orang-orang yang sependapat dengannya yang termasuk dalam kelompok ulama hadits yang Rabbani. Imam Ahmad selalu berkata, bila beliau ditanyai mengenai masalah-masalah baru yang belum terjadi :"tinggalkan kami (jangan sibukkan kami) dengan masalah-masalah baru yang diada-adakan ini ! ".

Ahmad bin Syubwaih berkata :"barangsiapa yang menginginkan ilmu kubur ('Ilmul Qabri) maka hendaklah dia mengkaji atsar-atsar (hadits-hadits) dan barangsiapa yang menginginkan ilmu roti ('Ilmul Khubzi) maka silahkan mengkajinya dengan ra'yun (logika)".

ii) Masalah keutamaan meninggalkan al-Muharamât (hal-hal yang diharamkan) atas perbuatan ta'at yang sifatnya sunnah.
Diantara masalah lain yang dibicarakan para ulama berkaitan dengan hadits diatas (yang kita bicarakan), adalah masalah keutamaan meninggalkan al-muharramât atas perbuatan ta'at . Secara zhahirnya, yang dimaksud dengan perbuatan ta'at disini adalah perbuatan ta'at yang bersifat sunnah (bukan wajib). Sedangkan inti dari pembicaraan mereka tentang hal ini adalah bahwa menjauhi/meninggalkan al-muharramât (hal-hal yang diharamkan) meskipun sedikit lebih utama daripada memperbanyak perbuatan-perbuatan ta'at yang bersifat sunnah, karena hal itu (menjauhi/meninggalkan al-muharramât) adalah wajib sedangkan mengerjakan keta'tan yang sunnah itu hukumnya adalah sunnah.
Masalah ini dapat disimpulkan dari potongan hadits diatas (yang kita bahas ini) yaitu dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam : "Apa yang aku larang kalian dari (mengerjakan)-nya maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan kalian untuk (melakukan)-nya maka datangkanlah/lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian". Dalam hal ini, sebagian ulama berkata : "Dari potongan hadits diatas diambil kesimpulan bahwa larangan adalah lebih keras dari perintah, karena tidak pernah ada keringanan/rukhshah dalam melakukan suatu larangan sedangkan perintah selalu dikaitkan dengan istithâ'ah (kemampuan) dalam melakukannya". Ucapan ini diriwayatkan dari Imam Ahmad.
iii) Masalah orang yang tidak mampu melakukan perintah secara keseluruhan dan hanya mampu melakukan sebagiannya
Dalam masalah ini, orang tersebut harus melakukan apa yang mungkin untuk dilakukannya. Kemudian masalah ini berkembang kedalam pembahasan masalah yang terkait dengan masalah-masalah fiqih, seperti thaharah, shalat, zakat fitrah, dan lain-lain. (untuk penjelasan yang lebih rinci lagi, lihat; kitab Jami'ul 'Ulum wal hikam, karya Syaikh Ibnu Rajab al-Hanbali, h. 253-257).
Intisari Hadits
• Anjuran untuk melakukan perintah Rasulullah sesuai dengan kemampuan yaitu dengan memberikan perhatian yang penuh terhadap apa yang datang dari Allah dan RasulNya, berijtihad dalam memahaminya, mengetahui makna-maknanya kemudian mengaplikasikannya dalam amaliah sehari-hari.
• Para Salaf sangat berhati-hati dalam menyikapi pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang tidak perlu dan masih berpretensi kemungkinan akan terjadi bahkan cenderung menghindarinya hingga hal itu benar-benar terjadi.
• Dari satu sisi, bahwa meninggalkan al-Muharamât adalah lebih utama dari melakukan perbuatan ta'at yang sifatnya sunnah.
• Allah Ta'ala tidak membebankan taklif syar'i diluar kemampuan mukallaf dan dalam hal tertentu taklif tersebut berubah menjadi rukhshah/dispensasi sebagai kasih sayangNya kepada hamba-hambaNya sedangkan dalam masalah larangan maka tidak ada keringanan apapun untuk melakukannya bahkan taklifnya harus dilakukan secara total kecuali dalam keadaan darurat dimana dimaksudkan bukan untuk bersenang-senang serta mengumbar hawa nafsu.
• Diantara ciri-ciri umat-umat terdahulu adalah suka banyak bertanya tentang hal-hal yang tidak bermanfaat dan suka membantah Nabi-Nabi yang diutus kepada mereka dan hal itulah sebagai penyebab hancur dan binasanya mereka.
(Disarikan dari kitab "Jâmi'ul 'Ulûm wal Hikam", karya Syaikh Ibnu Rajab al-Hanbali, juz. I, h. 238-257).

BACA SELENGKAPNYA..

Rabu, 29 April 2009

Apa Itu Hadîts Qudsiy


Apa Itu Hadîts Qudsiy
Mukaddimah
Pada kajian ilmu hadits kali ini, sengaja kami ketengahkan masalah Hadîts Qudsiy yang tentunya sudah sering didengar atau dibaca tentangnya namun barangkali ada sebagian kita yang belum mengetahuinya secara jelas.
Untuk itu, kami akan membahas tentangnya secara ringkas namun terperinci insya Allah, semoga bermanfa'at.

Definisi

Secara bahasa (Etimologis), kata القدسي dinisbahkan kepada kata القدس (suci). Artinya, hadits yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu Allah Ta'ala.
Dan secara istilah (terminologis) definisinya adalah
ما نقل إلينا عن النبي صلى الله عليه وسلم مع إسناده إياه إلى ربه عز وجل
Sesuatu (hadits) yang dinukil kepada kita dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam yang disandarkan beliau kepada Rabb-nya.

Perbedaan Antara Hadîts Qudsiy Dan al-Qur`an

Terdapat perbedaan yang banyak sekali antara keduanya, diantaranya adalah:
1. Bahwa lafazh dan makna al-Qur`an berasal dari Allah Ta'ala sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian, alias maknanya berasal dari Allah Ta'ala namun lafazhnya berasal dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam.
2. Bahwa membaca al-Qur`an merupakan ibadah sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.
3. Syarat validitas al-Qur'an adalah at-Tawâtur (bersifat mutawatir) sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.

Jumlah Hadîts-Hadîts Qudsiy

Dibandingkan dengan jumlah hadits-hadits Nabi, maka Hadîts Qudsiy bisa dibilang tidak banyak. Jumlahnya lebih sedikit dari 200 hadits.

Contoh

Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim di dalam kitab Shahîh-nya dari Abu Dzarr radliyallâhu 'anhu dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkan beliau dari Allah Ta'ala bahwasanya Dia berfirman,
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا
"Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan menjadikannya diantara kamu diharamkan, maka janganlah kamu saling menzhalimi (satu sama lain)." (HR.Muslim)

Lafazh-Lafazh Periwayatannya

Bagi orang yang meriwayatkan Hadîts Qudsiy, maka dia dapat menggunakan salah satu dari dua lafazh-lafazh periwayatannya:
1. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkannya dari Rabb-nya 'Azza Wa Jalla
2. قال الله تعالى، فيما رواه عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم
Allah Ta'ala berfirman, pada apa yang diriwayatkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dari-Nya

Buku Mengenai Hadîts Qudsiy

Diantara buku yang paling masyhur mengenai Hadîts Qudsiy adalah kitab
الاتحافات السنية بالأحاديث القدسية (al-Ithâfât as-Saniyyah Bi al-Ahâdîts al-Qudsiyyah) karya 'Abdur Ra`uf al-Munawiy.
Di dalam buku ini terkoleksi 272 buah hadits.
(SUMBER: Buku Taysîr Musthalah al-Hadîts, karya
DR.Mahmûd ath-Thahhân, h.127-128)

BACA SELENGKAPNYA..

10 MAKE UP MUSLIMAH


  • Jadikanlah “GHADUL BASHAR” (menundukkan pandangan) sebagai “HIASAN MATA” anda, niscaya akan semakin bening dan jernih.
  • Oleskan “LIPSTIK KEJUJURAN” pada bibir anda, niscaya akan semakin manis.
  • Gunakanlah “PEMERAH PIPI” anda dengan kosmetik yang terbuat dari rasa malu yang dibuat dari salon iman.
  • Pakailah “SABUN ISTIGFAR” yangakan menghilangkan semua dosa dan kesalahan yang anda lakukan.
  • Rawatlah rambut anda dengan “SELENDANG ISLAMI” yang akan menghilangkan ketombe pandangan laki-laki yang membahayakan.
  • Rawatlah rambut anda dengan “SELENDANG ISLAMI” yang akan menghilangkan ketombe pandangan laki-laki yang membahayakan.
  • Hiasilah kedua tangan anda dengan “GELANG TAWADHU”
  • Hiasilah jari-jari anda dengan “CINCIN UKHUWAH”
  • Pakilah “GIWANG KESOPANAN” pada telinga anda
  • Sebaik-baik kalung adalah “KALUNG KESUCIAN”
  • Bedakilah wajah anda dengan “AIR WUDHU” niscaya akan bercahaya di akhirat


Insya Allah hidup kita diberkahi oleh Allah SWT

BACA SELENGKAPNYA..

Minggu, 26 April 2009

Bidadari Surga (Hurul'In) Dalam Al-Quran


فِيهِنَّ خَيْرَاتٌ حِسَانٌ
Didalam surga, ada gadis-gadis (Bidadari-Bidadari) yang baik-baik lagi cantik-cantik (Q.S Ar-Rahman : 70)

حُورٌ مَقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ
Bidadari-Bidadari yang jelita, putih bersih dipingit didalam rumah (Q.S Ar-Rahman : 72)

كَأَنَّهُنَّ الْيَاقُوتُ وَالْمَرْجَانُ
Seakan-akan Bidadari itu seperti yagut dan marjan (Q.S Ar-Rahman : 58)

مُتَّكِئِينَ عَلَى سُرُرٍ مَصْفُوفَةٍ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ
Mereka bertelekan diatas dipan-dipan yang berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan Bidadari-Bidadari yang cantik bermata jelita (Q.S Ath-Thuur : 20)

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Dan untuk mereka (yang beriman dan beramal shaleh) didalam surga ada istri-istri yang suci dan mereka kekal didalamnya (Q.S Al-Baqarah : 25)

وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ عِينٌكَأَنَّهُنَّ بَيْضٌ مَكْنُونٌفَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ
Dan disisi mereka ada (Bidadari-Bidadari) yang bermata indah dan membatasi pandangannya. Seakan-akan mereka adalah telur yang disimpan dengan baik. Lalu mereka berhadap-hadapan satu sama lain sambil bercakap-cakap (Q.S As-Saffât : 48-50)

لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلا جَانٌّ
Mereka (Bidadari-Bidadari) sebelumnya tidak pernah disentuh manusia maupun oleh jin (Q.S Ar-Rahman : 74)

وَحُورٌ عِينٌ
Dan ada Bidadari-Bidadari yang bermata indah (Q.S Al-Waqi’ah : 22)

وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا
Dan gadis-gadis montok yang sebaya (Q.S An-Naba’ : 33)

كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ
Demikanlah, kemudian Kami berikan kepada mereka pasangan Bidadari yang bermata indah (Q.S Ad-Dukhan : 54)

إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءًفَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًاعُرُبًا أَتْرَابًا
Kami menciptakan mereka (Bidadari-Bidadari itu) secara langsung, lalu Kami jadikan mereka perawan-perawan, yang penuh cinta dan sebaya umurnya (Q.S Al-Wa’qiah : 35-37).

BACA SELENGKAPNYA..

Sabtu, 25 April 2009

Bisakah Allah dapat dilihat di dunia ?

Disamping adanya kelompok-kelompok yang mengingkari akan dapat dilihatnya Allah pada hari kiamat oleh penghuni surga, ada pula kelompok yang berpendapat sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa Allah bisa dilihat di dunia ini oleh para auliya (para wali). Pendapat seperti ini diyakini oleh sebagian kaum muslimin bahwa Syaikh Abdul Qadir Jaelani telah melihat Allah di dunia ini, sebagaimana terdapat dalam buku manaqib Abdul Qadir Jaelani yang sesat dan menyesatkan.

Padahal dalil berupa ayat Al-Qur'an yang telah dibahas pada edisi yang lalu –yang dijadikan dalil oleh mu’tazilah untuk menolak hadits ru’yah—sesungguhnya merupakan dalil yang menunjukkan tidak mungkinnya Allah dilihat di dunia ini. Ayat tersebut yaitu:

قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا... ]الأعراف: 143[
Berkata Musa: "Ya Rabb-ku, nampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu". Allah berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap berada di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Rabb-nya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh.. (al-A’raaf: 143)

Ayat ini menunjukkan bahwa gunung-pun hancur luluh ketika Allah menampakkan diri kepadanya, apalagi manusia yang sangat lemah. Dan kepada Musa عليه السلام –hamba-Nya yang mulia dan Allah berbicara langsung kepadanya-- Allah katakan: “Engkau tidak akan sanggup melihat-Ku”, yakni di dunia ini. Apalagi orang-orang yang selain para nabi.
Berkata Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi: “Telah sepakat seluruh umat bahwa tidak ada seorangpun yang dapat melihat Allah dengan mata kepalanya di dunia ini dan tidak ada perselisihan di kalangan mereka, kecuali tentang Nabi Kita صلى الله عليه وسلم”. (Syarh Aqidah ath-Thahawiyah: 196)

Apakah Rasulullah صلى الله عليه وسلم melihat Allah ketika mi’raj?

Sebagian shahabat seperti Ibnu Abbas رضي الله عنهما, beliau berpendapat bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah melihat Rabb-nya dengan mata kepalanya. Namun riwayat-riwayat dari atsar ini sebagiannya dlaif (lemah), seperti riwayat yang telah dikeluarkan oleh Ibnu Huzaimah dalam Kitab Tauhid dengan lafadz yang mudtharib (goncang) secara mauquf terhadap ibnu Abbas. Pada satu riwayat disebutkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم melihat dengan mata kepalanya, sedangkan pada riwayat lainnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم melihat Rabb-nya dengan hatinya, seperti yang diriwayatkan dari Atha’ bin Abi Rabbah. Dan banyak lagi lafadz-lafadz lainnya yang diriwayatkan dan bersumber dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما.

Dalam riwayat dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما di atas juga tidak disebutkan dengan tegas bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم melihat Allah dengan mata kepalanya. Sebagian riwayat itu hanya menyatakan beliau صلى الله عليه وسلم “melihat dalam hatinya”, “melihat cahaya”, “melihat dalam mimpinya” dan lain-lain.

Di samping itu, mereka yang berpendapat bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah melihat Allah ketika mi’raj, berhujah dengan ayat Allah dalam surat atTak-wir:
وَلَقَدْ رَآهُ بِاْلأُفُقِ الْمُبِينِ. ]التكوير:23[
Dan sesungguhnya Muhammad itu melihatnya di ufuk yang terang. (at-Tak-wir: 23)

Dan ayat Allah:
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى. عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى. ]النجم: 13-14[
Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. (an-Najm: 62-63)

Bantahan bagi pendapat di atas

Sebagian para shahabat lainnya seperti Aisyah, Ibnu Mas’ud, dan Abu Hurairah; demikian pula sebagian ashhabul hadits dan para fuqaha lainnya, mereka berpendapat bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak melihat Rabb-Nya ketika beliau صلى الله عليه وسلم mi’raj. Hal itu sebagaimana telah diriwayatkan dari Aisyah رضي الله عنها, ketika beliau ditanya oleh Masyruq: ”Apakah Rasulullah صلى الله عليه وسلم melihat Rabb-Nya?” Aisyah رضي الله عنها menjawab:
مَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللَّهِ الْفِرْيَةَ. قَالَ وَكُنْتُ مُتَّكِئًا فَجَلَسْتُ فَقُلْتُ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَنْظِرِينِي وَلاَ تَعْجَلِينِي أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
]وَلَقَدْ رَآهُ بِاْلأُفُقِ الْمُبِينِ[ ]وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى[ فَقَالَتْ: أَنَا أَوَّلُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ سَأَلَ عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ: إِنَّمَا هُوَ جِبْرِيلُ لَمْ أَرَهُ عَلَى صُورَتِهِ الَّتِي خُلِقَ عَلَيْهَا غَيْرَ هَاتَيْنِ الْمَرَّتَيْنِ رَأَيْتُهُ مُنْهَبِطًا مِنَ السَّمَاءِ سَادًّا عِظَمُ خَلْقِهِ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ إِلَى اْلأَرْضِ. فَقَالَتْ: أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ ]لاَ تُدْرِكُهُ اْلأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ اْلأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ[ أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ ]وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ[(متفق عليه)

Barangsiapa yang menyangka bahwa Muhammad صلى الله عليه وسلم melihat Rabb-nya, maka dia telah membikin kedustaan besar kepada Allah. Aku (Masyruq) yang semula berbaring, kemudian terduduk dan berkata: “Ya Umul mukminin, sebentar dulu! jangan terburu-buru! Bukankah Allah telah berfirman: “[وَلَقَدْ رَآهُ بِاْلأُفُقِ الْمُبِينِ] [ وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى] (“Dan sesungguhnya Muhammad itu melihatnya di ufuk yang terang”. (“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha”. Aisyah رضي الله عنها menjawab: “Aku adalah orang pertama dari umat ini yang bertanya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم tentangnya. Maka beliau menjawab: “Itu adalah Jibril, aku tidak pernah melihatnya dalam bentuk aslinya, yang ia diciptakan atasnya. Aku melihatnya turun dari langit dan menutupi antara langit dan bumi karena besarnya (bentuknya)”. Kemudian Aisyah berkata: “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah berfirman:
[لاَ تُدْرِكُهُ اْلأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ اْلأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ]? (“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”). Bukankah engkau pernah mendengar
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ.
(“Dan tidak mungkin bagi seorang manusia bahwa Allah berkata dengannya kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizinNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana). (HR. Bukhari-Muslim)

Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم melihat cahaya dinukil juga dalam kitab shahih muslim sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Syafiq dari Abu Dzar:
ثُمَّ قُلْتُ ِلأَبِي ذَرٍّ لَوْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسَأَلْتُهُ. فَقَالَ: عَنْ أَيِّ شَيْءٍ كُنْتَ تَسْأَلُهُ؟ قَالَ: كُنْتُ أَسْأَلُهُ: هَلْ رَأَيْتَ رَبُّكَ؟ قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ قَدْ سَأَلْتُ فَقَالَ: ((رَأَيْتُ نُوْرًا)). (رواه مسلم)
Dia berkata kepada Abu Dzar: “Kalau aku sempat bertemu Rasulullah صلى الله عليه وسلم sungguh aku akan bertanya. Abu Dzar balik bertanya: “Apa yang akan kau tanyakan?”. Aku akan bertanya: “Apakah beliau melihat rabb-Nya?” Maka Abu Dzar pun berkata; “Sungguh aku telah bertanya kepada beliau صلى الله عليه وسلم. Beliau menjawab: “Aku melihat cahaya”. (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan dari Abu Dzar:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهَ هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ؟ قَال: (نُوْرٌ أَنَّى أَرَاهُ)
Aku bertanya kepada Rasulllah صلى الله عليه وسلم : “Apakah engkau melihat Rabb-mu? Beliau صلى الله عليه وسلم menjawab: “Cahaya, bagaimana aku melihatnya?”. (HR. Muslim)
Disebutkan oleh para ulama bahwa yang dilihat oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah hijab-Nya, karena hijabnya adalah cahaya sebagaimana diriwayatkan dari dari Abu Musa al-‘Asy’ari:
قَامَ فِيْنَا رَسُوْلُ اللهِِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَنَامُ وَلاَ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَنَامَ يَخْفَضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُهُ. يَرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلَ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ وَعَمَلَ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ حِجَابُهُ النُّوْرُ. (رواه مسلم)
Berdiri Rasulullah صلى الله عليه وسلم di depan kami dengan menyampaikan lima kalimat. Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak layak bagi-Nya tidur, menurunkan timbangan dan mengangkatnya, diangkat kepadanya amalan malam sebelum amalan siang, dan amalan siang sebelum amalan malam, dan hijab-Nya adalah cahaya. (HR. Muslim)

Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fathul Bary jilid 8/708, setelah menyebutkan pendapat-pendapat yang menyatakan Rasulullah صلى الله عليه وسلم melihat Rabb-nya dan pendapat yang sebaliknya, berkata: “Hadits-hadits dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم melihat Rabb-nya, ada yang diriwayatkan secara muqayyad (terikat), yakni melihat dengan hatinya; dan ada pula yang diriwayatkan secara mutlak. Oleh karena itu wajib bagi kita untuk membawa hadits-hadits yang mutlak tersebut kepada hadits-hadits yang muqayyad”.

Kemudian Ibnu Hajar ÑÍãå Çááå mengakurkan (menjama’) antara kedua pendapat yang kelihatannya saling bertentangan tersebut dengan menyatakan: “Dengan ini kita bisa mengumpulkan antara pendapat Ibnu Abbas yang menetapkan (melihatnya Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã terhadap Allah –pent.) dengan pendapat Aisyah yang justru mengingkarinya. Yaitu dengan membawa pengingkaran Aisyah kepada penglihatan dengan mata, adapun penetapan Ibnu Abbas adalah penglihatan dengan hatinya”.

Berkata Dr. Ali bin Muhammad
bin Nashir al-Faqihi: “Jama’ dari Ibnu Hajar ini sangat bagus dan dengan ini kita dapat mengambil seluruh riwayat-riwayat tersebut”. (Al-Iman, karya Ibnu Mandah, tahqiq Dr. Ali bin Muhammad bin Nashir al-Faqihi hal. 24).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ÑÍãå Çááå: “Tidaklah ucapan Ibnu Abbas tentang melihatnya Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã bertentangan dengan hadits Aisyah”. Kemudian beliau ÑÍãå Çááå meriwayatkan bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã per-nah malihat Rabb-nya dalam tidurnya. (Zaadul Ma’ad, juz 3 hal. 37)

Bahkan disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’adnya bahwa Utsman bin Sa’id ad-Darimi telah menghikayatkan kesepakatan para sahabat tentang tidak melihatnya Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã terhadap Rabb-nya. (Zaadul Ma’ad, juz 3 hal. 37)
Yakni dengan mata kepala beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã dalam keadaan sadar. Adapun riwayat-riwayat yang menyatakan beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat-Nya adalah dalam keadaan tidur atau dengan hatinya.

Dengan demikian, jika kita memperhatikan bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã sendiri tidak melihat Rabb-nya dengan matanya secara sadar di dunia ini dalam riwayat-riwayat yang shahih, maka bagaimana mungkin bagi orang-orang selain beliau dapat melihat-Nya dengan mata kepalanya ?

Wallahu a’lam

(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 48/Th. II, 24 Dzulhijjah 1425 H/4 Februari 2005 M, penulis Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli "Tak Ada yang melihat Allah di dunia". Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp di bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief Subekti, Agus Rudiyanto, Zaenal Arifin; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Arif Subekti telp. (0231) 481215.)

BACA SELENGKAPNYA..

Selasa, 21 April 2009

Iman Itu Bisa Meningkat dan Bisa Menurun


Ketahuilah, iman yang ada di dalam diri seorang hamba itu bisa bertambah dan bisa pula berkurang atau bahkan hilang tanpa bekas dari diri seseorang. Al-Imam Abdurrahman bin Amr Al-Auza'i rahimahullah pernah ditanya tentang keimanan, apakah bisa bertambah. Beliau menjawab: "Betul (bertambah), sampai seperti gunung." Lalu beliau ditanya lagi: "Apakah bisa berkurang?" Beliau menjawab: "Ya, sampai tidak tersisa sedikitpun."

Demikian pula Imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Ahmad bin Hambal rahimahullah pernah ditanya tentang keimanan, apakah bisa bertambah dan berkurang? Beliau menjawab: "Iman bertambah sampai puncak langit yang tujuh dan berkurang sampai kerak bumi yang tujuh." Beliau juga menyatakan: "Iman itu (terdiri atas) ucapan dan amalan, bisa bertambah dan berkurang. Apabila engkau mengamalkan kebajikan, maka iman akan bertambah, dan apabila engkau menyia-nyiakannya, maka iman pun akan berkurang."

Nah, inilah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah itu, yakni meyakini bahwa sesungguhnya iman seseorang itu bisa bertambah dan bisa pula berkurang. Setelah kita tahu bahwa ternyata iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang, lalu apa yang harus dilakukan oleh seorang mukmin untuk menjaga kualitas imannya? Al Imam Allamah Abdurrahman bin Nashr As Sa'di rahimahullah mengatakan: "Seorang mukmin yang diberi taufiq oleh Allah Ta'ala, dia senantiasa berusaha melakukan dua hal: Pertama, memurnikan keimanan dan cabang-cabangnya, dengan cara mengilmui dan mengamalkannya. Kedua, berusaha untuk menolak atau membentengi diri dari bentuk-bentuk ujian (cobaan) yang tampak maupun tersembunyi yang dapat menafikannya (menghilangkannya), membatalkannya atau mengikis keimanannya itu." (At Taudhih wal Bayan lisy Syajarotil Iman, hal 38).

Saudaraku muslimin, ketahuilah! Ada beberapa amalan yang insya Allah akan dapat menyebabkan bertambahnya iman seseorang, di antaranya adalah:

Pertama: Membaca dan tadabbur (merenungkan atau memikirkan isi kandungan) Al Quranul Karim. Orang yang membaca, mentadabburi dan memperhatikan isi kandungan Al Quran akan mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang menjadikan imannya kuat dan bertambah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang orang-orang mukmin yang berbuat demikian: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati-hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah iman bereka, dan kepada Rabb mereka itulah mereka bertawakkal." (QS. Al Anfal [8]: 2)

Al Imam Al Ajurri rahimahullah berkata: "Barangsiapa mentadabburi Al Quran, dia akan mengenal Rabb-nya Azza wa Jalla dan mengetahui keagungan, kekuasaan dan qudrah-Nya serta ibadah yang diwajibkan atasnya. Maka dia senantiasa melakukan setiap kewajiban dan menjauhi segala sesuatu yang tidak disukai maulanya (yakni Allah Ta'ala)."

Kedua: Mengenal Al Asmaul Husna dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah yang menunjukkan kesempurnaan Allah secara mutlak dari berbagai segi. Bila seorang hamba mengenal Rabbnya dengan pengetahuan yang hakiki, kemudian selamat dari jalan orang-orang yang menyimpang, sungguh ia telah diberi taufiq dalam mendapatkan tambahan iman. Karena seorang hamba bila mengenal Allah dengan jalan yang benar, dia termasuk orang yang paling kuat imannya dan ketaatannya, kuat takutnya dan muroqobahnya kepada Allah Ta'ala.

Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya adalah ulama." (QS. Fathir [35]: 28). Al Imam Ibnu Katsir menjelaskan: "Sesungguhnya hamba yang benar-benar takut kepada Allah adalah ulama yang mengenal Allah." (Tafsir Ibnu Katsir 3/533).

Ketiga: Memperhatikan siroh atau perjalanan hidup Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni dengan mengamati, memperhatikan dan mempelajari siroh beliau dan sifat-sifatnya yang baik serta perangainya yang mulia.

Al Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan: "Dari sini kalian mengetahui sangat pentingnya hamba untuk mengenal Rasul dan apa yang dibawanya, dan membenarkan pada apa yang beliau kabarkan serta mentaati apa yang beliau perintahkan. Karena tidak ada jalan kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan di akhirat kecuali dengan tuntunannya. Tidak ada jalan untuk mengetahui baik dan buruk secara mendetail kecuali darinya.Maka kalau seseorang memperhatikan sifat dan akhlak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Al Quran dan Al Hadits, niscaya dia akan mendapatkan manfaat dengannya, yakni ketaatannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi kuat, dan bertambah cintanya kepada beliau. Itu adalah tanda bertambahnya keimanan yang mewariskan mutaba'ah dan amalan sholih."

Keempat: Mempraktekkan (mengamalkan) kebaikan-kebaikan agama Islam. Ketahuilah, sesungguhnya ajaran Islam itu semuanya baik, paling benar aqidahnya, paling terpuji akhlaknya, paling adil hukum-hukumnya. Dari pandangan inilah Allah menghiasi keimanan di hati seorang hamba dan membuatnya cinta kepada keimanan, sebagaimana Allah memenuhi cinta-Nya kepada pilihan-Nya, yakni Nabiyullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam (lihat QS. Al Hujurat [49]: 7)

Maka iman di hati seorang hamba adalah sesuatu yang sangat dicintai dan yang paling indah. Oleh karena itu seorang hamba akan merasakan manisnya iman yang ada di hatinya, sehingga dia akan menghiasi hatinya dengan pokok-pokok dan hakikat-hakikat keimanan, dan menghiasi anggota badannya dengan amal-amal nyata (amal sholih). (At Taudhih wal Bayan, hal 32-33)

Kelima: Membaca siroh atau perjalanan hidup Salafush Shalih. Yang dimaksud Salafush Shalih di sini adalah para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orangyang mengikuti mereka dengan baik (lihat QS. At Taubah [9]: 100). Barangsiapa membaca dan memperhatikan perjalanan hidup mereka, akan mengetahui kebaikan-kebaikan mereka, akhlak-akhlak yang agung, ittiba' mereka kepada Allah, perhatian mereka kepada iman, rasa takut mereka dari dosa, kemaksiatan, riya' dan nifaq, juga ketaatan mereka dan bersegera dalam kebaikan, kekuatan iman mereka dan kuatnya ibadah mereka kepada Allah dan sebagainya.

Dengan memperhatikan keadaan mereka, maka iman menjadi kuat dan timbul keinginan untuk menyerupai mereka dalam segala hal. Sebagaimana ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Barangsiapa lebih serupa dengan mereka (para shahabat Rasulullah), maka dia lebih sempurna imannya." (lihat Kitab Al Ubudiyah, hal 94). Dan tentunya, barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.

Itulah beberapa amalan yang insya Allah akan dapat menyebabkan bertambahnya keimanan. Adapun hal-hal yang dapat melemahkan iman seseorang adalah sebaliknya, di antaranya: Kebodohan terhadap syari'at Islam, lalai, lupa dan berpaling dari ketaatan, melakukan kemaksiatan dan dosa-dosa besar, mengikuti hawa nafsu dan sebagainya.

Mudah-mudahan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa diberi tambahan iman, dan dijauhkan dari kelemahan dan kehinaan. Wallahul musta'an.

(Dinukil dan disarikan dari Majalah Salafy, edisi XVIII/Shafar/1418/1997 oleh Abu Abdillah Ibnu Zuhri)

BACA SELENGKAPNYA..

Agama Islam Adalah Nasehat

Agama Islam Adalah Agama Nasehat
Penulis: Ustadz M. Ali Ishmah
Aqidah, 28 - Juni - 2003, 10:24:41

Diriwayatkan dari Abu Ruqayah Tamim bin Aus Ad Daary  sesungguhnya Nabi bersabda, "Agama itu nasehat." Kami bertanya, "Untuk siapa?" Beliau menjawab, "Untuk Allah, KitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin dan umumnya mereka" (HR. Bukhari, Muslim dan yang lainnya). Hadits ini diriwayatkan dari segolongan para shahabat, di antaranya Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Tamim Ad Daary dan Ibnu Umar radliyallahu 'anhum (lihat Al Irwa' No. 26)

Definisi Nasehat
Nasehat kadang-kadang bermakna khulush (bersih, murni dan yang lainnya). Bisa juga artinya menjahit (lihat Lisanul Arab, 2/615). Ibnu Katsir berkata dalam An Nihayah: "Nasehat adalah sebuah kata yang mengungkapkan tentang kalimat yang berisi keinginan agar yang dinasehati mendapat kebaikan." Abu Amr bin Ash Shalah berkata: "Nasehat adalah sebuah kalimat yang ringkas yang mengandung usaha si penasehat dengan memberi berbagai segi kebaikan secara kehendak dan perbuatan kepada yang dinasehati."

Nasehat Untuk Allah
Nadhim Sulthan berkata dalam Al Qawa'id hal. 91-96: "Nasehat untuk Allah adalah dengan beriman yang jujur kepadaNya. Dengan apa-apa yang dikabarkan dan diceritakan di dalam kitabNya dan juga yang melalui RasulNya shallallahu 'alaihi wasallam. Juga dengan ikhlas beribadah kepadaNya semata dan tidak beribadah kepada selainNya, mematuhi apa saja yang telah diperintahkanNya, menjauhi apa yang dilarangNya, mencintai apa yang Dia cintai, membenci yang Dia benci, berwala' kepada hamba-hambaNya yang beriman dan sebaliknya memusuhi serta menjauhi musuh-musuhNya."
Barangsiapa yang telah berhasil menunaikan itu berarti dia telah membersihkan dirinya dari karat-karat dan kotoran-kotoran yang rendah dan dia telah melakukan nasehat bagi Allah. Makna nasehat di sini adalah ikhlas kepada Allah dan yang menguatkannya adalah firman Allah: "Tidak dosa (lantaran tidak pergi jihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan RasulNya" (QS. At Taubah: 91). Makna nasehat pada ayat ini adalah mengikhlaskan ucapan dan perbuatan.
Imam Al Qurthubi menyatakan dalam tafsirnya terhadap ayat ini bahwa para ulama berkata: "Nasehat bagi Allah adalah memurnikan keyakinan dalam ketunggalanNya dan juga memberi sifat kepadaNya sifat-sifat keilahan, mensucikanNya dari segala kekurangan serta mencintai yang dicintaiNya dan menjauhi yang dibenciNya" (Tafsir Al Qurthubi 8/227)

Nasehat Untuk KitabNya
Yaitu beriman dengan kitabNya menurut cara yang dicontohkan para salaful ummah. Keyakinan para salaf tentang Al Qur'an adalah meyakini bahwa Al Qur'an adalah kalamullah, dan bukan makhluk. Al Imam Abu Utsman Ash Shabuni mengatakan dalam risalah Aqidatus Salaf Ashabil Hadits: "Para ahlul hadits bersaksi dan meyakini bahwa Al Qur'an adalah kalamullah, kitab dan wahyuNya bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan Al Qur'an adalah makhluk dengan keyakinan, maka dia dianggap kafir oleh para ahlul hadits." Al Qur'an adalah kalamullah dan wahyuNya yang dibawa oleh Jibril kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, berbahasa Arab untuk kaum yang mengetahui sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira, sebagaimana firman Allah: "Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam. Dia dibawa oleh Ar Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas." (Asy Syu'ara: 192-195)
Al Qur'an adalah wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya, sebagaimana beliau diperintahkan oleh Allah dalam ayat: "Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu." (Al Maidah: 67). Dan Al Qur'an adalah kalamullah sebagaimana hadits dari Jabir yang menceritakan Nabi menawarkan dirinya kepada orang yang pulang haji: "Adakah seorang yang akan membawaku kepada kaumnya, sebab orang Quraisy telah melarangku untuk menyampaikan kalam Rabbku." (HR. Bukhari dalam Khalqul Af'alil Ibad 86, 205). Itulah Al Qur'an, dia bukan makhluk. Barangsiapa yang mengira dia makhluk, maka dia dianggap kafir menurut para ahlul hadits.
Imam Al Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya Al Jami' li Ahkamil Qur'an, ketika menafsirkan makna 'nasehat bagi kitab Allah' adalah dengan:

a. Membacanya
Membaca Al Qur'an memiliki banyak keutamaan. Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang berkaitan dengan hal ini di antaranya adalah: "Bacalah Al Qur'an oleh kalian, karena dia akan datang di hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya." (HR. Muslim dalam Kitabul Musafirin No.252/804)

b. Memahaminya
Kebanyakan kaum muslimin membaca Al Qur'an dengan indah, tetapi tidak memahami arti dan tafsir yang benar tentangnya. Demikian juga orang-orang yang menghafal Al Qur'an tetapi tidak memahaminya dan hanya sebatas menghafal huruf-hurufnya saja.
Al Imam Ath Thurthusi dalam Al Hawadits hal. 96, yang ditahqiq oleh Syaikh Ali Hasan, menyatakan: "Termasuk kebid'ahan yang dilakukan oleh orang-orang tentang Al Qur'an adalah sekedar menghafal huruf-hurufnya tanpa memahaminya." Imam Malik meriwayatkan dalam Muwatha'nya 1/205 menyatakan: "Abdullah bin Umar berhenti pada surat Al Baqarah selama delapan tahun. Para ulama berkata bahwa maknanya adalah beliau mempelajari faraidlnya, hukumnya, halal haramnya, janji, ancamannya dan lain-lain."
Diriwayatkan dari Malik dalam Al Utaibah, beliau berkata: "Pernah ditulis surat kepada Umar bin Al Khathab dari Irak yang mengabarkan kepadanya bahwa beberapa orang telah menghafal Al Qur'an. Maka Umar memberikan imbalan pada mereka dengan mengatakan: Berikan kepada mereka harta." Kemudian bertambah banyaklah orang yang menghafal Al Qur'an. Satu tahun setelah itu ditulis surat kepada Umar bahwa ada 700 orang yang telah menghafal Al Qur'an. Kemudian Umar membalas: "Aku khawatir kalau mereka bersegera dalam Al Qur'an tanpa memahaminya." Imam Malik berkata: "Maknanya adalah beliau khawatir kalau mereka menakwilkannya dengan tidak benar."
Beginilah keadaan para pembaca Al Qur'an di masa ini. Kamu dapati mereka sanggup meriwayatkan Al Qur'an dengan 100 jenis riwayat, mengatur hurufnya dengan rapi, padahal dia sangat jahil terhadap hukum-hukumnya. Kalau engkau menanyakan kepadanya permasalahan sebenarnya tentang niat dalam wudlu, tempatnya, membawakannya, membatalkannya dan dalam memisah-misahkannya terhadap anggota-anggota wudlu, dia tidak bisa menjawab padahal dia membaca dan menghafal ayat: "Wahai orang-orang yang beriman, bila kalian hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku." (Al Maidah: 6). Bahkan kalau engkau bertanya kepadanya apakah perintah Allah dalam ayat ini menunjukkan wajib atau nadb atau istihbab atau waqf atau mubah, belum tentu ia dapat menjawab secara rinci.
Imam Malik pernah ditanya tentang anak berumur 7 tahun yang telah menghafal Al Qur'an, maka beliau menjawab: "Menurutku hal itu tidak patut." Sisi pengingkaran beliau dalam hal ini adalah karena para shahabat membenci cepat-cepat menghafal Al Qur'an tanpa memahami maknanya. Al Hasan berkata: "Sesungguhnya Al Qur'an ini telah dibaca oleh para hamba dan anak-anak. Tapi mereka tidak tahu tafsirnya dan tidak memulai dari awalnya padahal Allah telah berfirman:
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran (Shad : 29)
Tadabur terhadap ayat-ayat-Nya adalah mengikutinya dengan Ilmu. Demi Allah, bukan dengan menghapal huruf-hurufnya dan menyia-nyiakannya hukum-hukumnya, sampai salah seorang mereka ada yang berkata :'Demi Allah, aku telah membaca Al-Qur'an semuanya dan tidak satupun tertinggal dari hurufnya.' Padahal dia-demi Allah- telah meninggalkannya. Tidak terlihat Al-Qur'an pada Akhlak dan amalnya. Diantaranya lagi ada yang berkata :' Demi Allah aku bisa membaca Al-Qur'an dengan satu nafas.' Meraka bukanlah qurra' dan bukan pula ulama yang wara'. Kapan para qurra' mengatakan demikian? Semoga Allah tidak memperbanyak orang-orang seperti mereka.”
Al-Hasan berkata lagi :" Orang yang membaca Al-Qur'an ada tiga jenis :

Pertama, Dia membaca Al-Qur'an dia jadikan Al-Qur'an sebagai barang dagangan dan dengannya dia mengharap harta manusia dari satu negeri ke negeri yang lain
Kedua, Ada yang membaca Al-Qur'an dengan indah, tetapi mereka menyia-nyiakan hukum-Nya. Meraka mengalirkan harta banyak harta yang dimiliki para penguasa dan memfitnah para penduduk negerinya. Alangkah banyak yang demikian. Semoga Allah tidak memperbanyak orang-orang yang demikian.
Ketiga, Ada yang membaca Al-Qur'an, dia memulai dengan yang mengandung obat yang dia ketahui dari Al-Qur'an. Kemudian dia gunakan untuk mengobati hatinya. Meleleh air matanya. Dia bergadang tidak tidur, sedih, khusyu'. Karena mereka, Allah menurunkan hujan, memusnahkan musuh-musuh, menolak bala. Demi Allah, pemikul Al-Qur'an seperti ini sangat sedikit di kalangan manusia." (Masih dalam Tafsir Al-Qurthubi).
Beliau melanjutkan:" Allah telah berfirman tentang orang-orang yang menghafal kitab-kitab yang turun dari langit yang mereka tidak mengerti hukum-hukumnya, halal dan haramnya dengan ucapan-Nya :
Di antara mereka ada orang-orang yang ummi, mereka tidak mengetahui tentang Al-Kitab kecuali membaca (amani) dan mereka hanya menduga-duga (Al-Baqarah : 78).
Meraka menghafal Al-Qur'an tetapi tidak mengetahui apa yang telah diturunkan oleh Allah di dalamnya tentang hikmah-hikmah ddan pelajaran. Maka Allah mensifati mereka bahwa mereka hanya sekedar amani. Amani dalam konteks ini berarti tilawah (membaca).
Sufyan pernah berkata : "Tidak ada di dalam kitabullah ayat yang paling berat bagiku kecuali :
Katakanlah :" Wahai ahli kitab, kalian tidak dipandang beragama sedikitpun sampai kalian menegakkan ajaran Taurat dan Injil (Al-Maidah : 68). Menegakkan artinya, memahami dan mengamalkannya." (Selesai ucapan Thurthusyi).

c. Membelanya
Selanjutnya Imam Qurthubi mengatakan :"Seseorang tidak akan bisa membela Al-Qur'an, kecuali kalau dia memahami isinya". (Selesai Ucapan Imam Qurthubi). Baik dari segi bahasa (nahwu, sharaf dan lain-lain) atau tafsirnya. Bagi orang yang lemah dalam hal-hal tersebut biasanya ketika diterpa badai syubhat dari ahlul bid'ah, dia akan tenggelam.
Membela Al-Qur'an bisa dalam banyak hal. Yaitu dalam semua perkara yang telah diterangkan Allah dalam Al-Qur'an. Yang terpenting adalah dalam hal-hal yang berkaitan dengan perkara I'tiqad dan hukum." (Sumber yang sama).




d. Mengajarkannya
Pada point berikutnya beliau berkata :"Mengajarkan Al-Qur'an mengandungkeutamaan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur'an dan menajarkannya (HR. Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi).

e. Memuliakannya
Memuliakan Al-Qur'an ketika membacanya berarti kita harus beradab ketika itu, seperti dalam keadaan wudlu, tidak bersandar dan tidak duduk seperti orang yang sombong.
Memuliakan Al-Qur'an bukan hanya seperti yang dipahami oleh orang-orang awam yaitu dengan meletakkannya di tempat yang bersih, melainkan dibaca dan diamalkan setelah dipahami. Bahkan kadang-kadang ada rumah kaum muslimin yang tidak memiliki Al-Qur'an. Kalaupun punya, diletakan dalam lemari dan disimpan tanpa pernah disentuh.

f. Berakhlaq dengannya
Manusia yang telah mengamalkan Al-Qur'an adalah Rasulullah shalallau'alaihi wa sallam. Bila kita ingin mengamalkan Al-Qur'an dan berakhlak dengannya maka hendaknya kita melihat Akhlak beliau. Hal itu pernah diucapkan oleh Aisyah radliyallahu'anha – Ibu kaum muslimin.
Akhlak Nabi shalallahu'alaihi wa sallam adalah Al Qur'an (HR. Muslim no. 746).

Nasehat Bagi Rasul-Nya
Imam Al-Qurthubi dalam tafsir itu juga menyatakan bahwa maksud nasehat kepada Rasulullah shalallhu'alaihi wa sallam adalah :
a. Membenarkan kenabiannya.
b. Iltizam taat kepadannya dalam larangan dan perintah.
c. Mencintai orang yang mencitainya dan membenci orang yang membencinya.
d. Menghormatinya.
e. Mencintai beliau dan keluarganya.
f. Mengagungkan beliau.
g. Mengagungkan sunnah beliau.
h. Menghidupkan sunnahnya setelah wafatnya dengan:
- Membahasnya.
- Memahaminya.
- Membelanya.
- Menyebarkannya.
- Berdalwah kepadanya.
i. Berakhlak dengan akhlak beliau yang mulia (8/227).

Nasehat Bagi Para Pemimpin Kaum Muslimin
Maksudnya adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath I/167 : "Membantu mereka pada perkara yang mereka pikul, mengiatkan mereka ketika lupa atau lalai, menutup kesalahan mereka ketika bersalah, menyatukan suara untuk mereka, mengembalikan hati-hati yang lari kepada mereka dan nasehat terbesar bagi mereka adalah menyelamatkan mereka dari kedhaliman dengan cara yang baik.
Termasuk pemimpin kaum musl;imin adalah para imam mujtahidin. Nasehat untuk mereka adalah dengan menyebarkan iilmu mereka dan menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka serta berbaik sangka kepada mereka. " (Fathul Bari).
Menurut Imam Qurthubi : " Maksudnya tidak memberontak kepada mereka, membimbing mereka kepada kebenaran, mengiatkan mereka tentang perkara kaum muslimin yang mereka lalaikan, tetap taat kepada mereka dan menunaikan hak mereka yang wajib." (Tafsir Al-Qurthubi, 8/227).
Sedangkan Al-Hafidh Ibnu Rajab berkata :" Maksudnya mencintai kebaikan, kecerdasan dan keadilanmereka, mencintai agar ummat ini bersatu di bawah kepemimpinan mereka, benci kalau terpecahnya ummat ini di bawah kepemimpinan mereka, beragama dengan taat kepada mereka dalam perkara taat kepada Allah, membenci orang-orang memiliki pendapat memberontak kepada mereka, mencintai kemulaan mereka dalam taat kepada Allah." (Iqadhul Himam).

Nasehat Bagi Kaum Muslimin
Imam Quthubi berkata : " Maksudnya tidak memusuhi mereka, membimbing mereka, mencintai orang shalih diantara mereka, mendoakan kebaikan untuk mereka dan menginginkan agar mereka mendapat kebaikan."
Ibnu Hajar berkata : " Maksudnya menyayagi mereka, berusaha pada hal-hal yang bermanfaat bagi mereka, mengerjakan yang bermanfaat bagi mereka, menhan gangguan terhadap mereka, mencintai bagi mereka apa yang dicintainya bagi dirinya dan membenci bagi mereka apa yang dibencinya bagi dirinya."
Imam An-Nawawi berkata : " Maksudnya membimbing mereka menuju kebaikan di dunia dan akhirat mereka, tidak mengganggu mereka, mengajarkan kepada mereka yang tidak mereka ketahui tentang agama mereka, membantu mereka untuk itu denganucapan dan amalan, menutup aurat mereka, menolak bahaya terhadap mereka, mengusahakan agar mereka mendapat kebaikan, menyuruh mereka kepda yang ma'ruf, mencegah mereka dari yang mungkar dengan kasih sayang dan ikhlas, menyayangi mereka, menghormati yang tua dari mereka, menyayangi yang muda, selalu menasehati mereka, tidak menipu mereka, tidak dengki kepada mereka, mencintai bagi mereka apa yang dicintai bagi dirinya dari kebaikan, membenci bagi mereka apa yang dibenci bagi dirinya dari kejahatan dan kejelekan, membela harta dan kehormatan mereka serta yang selain itu dengan ucapan dan tindakan, menganjurkan mereka untuk berakhlak dengan seluruh apa yang telah kita sebutkan tadi, memberi semangat agar mereka melakukan amalan-amalan taat." (syarah shahih Muslim, 1/239).
"Dan termasuk jenis nasehat bagi Allah, kitab-Nya dan Rasul-Nya dan hal ini khusus bagi para ulama adalah membantah pendapat-pendapat yang sesat dengan Al-Quran dan as-sunnah dan menerangkan dalil-dalil keduanya kepada yang menentang dan begitu pula membantah ucapan-ucapan yang lemah dari para ulama karena ketergelinciran dengan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan as-sunnah dan menerangkan hadits yang shahih atau dlaif serta rawi-rawinya, yang diterima dan yang ditolak." (Ibnu Rajab dalam Iqadhatul Himam hal.129).

Wallahu'alam bish-shawab.

BACA SELENGKAPNYA..